Welcome. You Can See My Creativity

Kamis, 17 Oktober 2013

Konserta "Swarga di Khatulistiwa"

 Bagi anda para pencinta Seni Teater. Sanggar Anak Akar kembali memproduksi Teater Musikal ( Konserta ) yang mengambil cerita tentang tanah surga yang berada di tengah garis khatulistiwa dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai budaya dan intrik dengan bangsa lain. Konserta yang berjudul "Swarga di Khatulistiwa" ini akan dipertunjukkan di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki pada 5 November 2013. Kali  ini Sanggar Anak Akar berkolaborasi dengan JP Milenix, Sahita, Bonita dan SMP Don Bosco II Choir. Dengan Koreografer yaitu Elly D. Luthan. Jangan sampai ketinggalan. Ayo segera pesan tiketnya. Tersedia 2408 bangku penonton untuk anda semua.

HTM :
 Selasa, 5 November 2013 ( 15.00 )
Pelajar  : Rp 75.000
Reguler : Rp 100.000
VIP      : Rp 250.000
VVIP   : Rp 350.000

Selasa, 5 November 2013 ( 20.00 )
Reguler : Rp 100.000
VIP    : Rp 250.000
VVIP : Rp 350.000

Jangan sampai menyesal ya kalau tidak datang. Kami tak akan mengecewakan anda.
Informasi / pemesanan tiket:
Ursula         : 085693834947
Hairun Nisa : 08568877612


Kamis, 10 Oktober 2013

API PEMBERONTAKAN


        “ Duaaaaarrrrrrrr” ledakan kedua ini membuatku semakin masuk ke dalam lemari pakaianku. Tak ada tempat sembunyi lagi dari monster-monster itu. Pesawat tempur sudah ada diatas desaku sejak 5 jam lalu. Mereka menghancurkan seluruh bagian dari desaku.
            Saat itu aku baru ingat dengan adikku yang kutinggalkan di ruang bawah tanah. Dengan langkah sigap aku berlari ke arah dapur, membuka karpet penutup pintu ruang bawah tanah. Kemudian kubuka kunci pintu kecil itu dan berseru memanggil adikku.
            “ Gayatri!!! Gayatri!! Kau dengar aku? “ Tak ada jawaban. Aku mulai panik. Dan aku mengumpat karena pintu kecil itu tak mau terbuka dengan mudah.
 Aku mulai mencari Gayatri tapi tak kutemukan disudut manapun. Tapi, aku ingat bahwa lumbung padi kecil itu sudah setengah kosong. Aku membuka lemari itu. Dan hatiku lega melihat Gayatri ada didalamnya. Tidur lelap dengan mata sembab, habis menangis.
“Gayatri, bangunlah. Sekarang sudah aman” ucapku lembut sambil membelai rambutnya. Dan sekejap ia membuka matanya yang sudah memerah.
‘Aku takut. Sangat takut”
“Aku tahu, sayang. Tapi perang ini belum usai. Ayo kita naik ke atas dan menyeduh teh” ajakku sambil merangkulnya.
***
Dan ingatanku kembali ke seminggu yang lalu, sebelum semua ini terjadi.
“Ibu tahu nak, ini sangat mendadak. Tapi bagaimanapun kami adalah prajurit perang di jaman dahulu. Kami semua diharuskan ikut perang ini demi mengembalikan kedamaian di desa kita dari penindasan Jagakarta.” Ucapan yang membuatku terpana, dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka, Ayah dan ibuku harus pergi jauh dari anak-anak demi secuil kedamaian yang aku percaya, akan dirampas lagi oleh musuh kami, Jagakarta.
“Warsita, dengarkan ayah. Ini demi masa depan kalian juga. Ibu dan ayah harus pergi nak. Ayah mohon jangan egois. Ayah Cuma menginginkan doa dan izinmu. Tolong jaga Gayatri selama kami pergi. Kami pasti kembali, Sita.” Tanpa panjang lebar, ayah langsung menyiapkan barang-barang penting yang dibutuhkan untuk pergi ke alun-alun. Tempat berkumpul para pejuang.
Ibu pun tampak lebih sibuk, menyiapkan bekal makanan. Ayah memberikan uang 500 ribu ke tanganku, dia bilang untuk jaga-jaga.
“Di lumbung ada 3 karung nasi dan sekarung jagung. Pergunakan sebaik-baiknya. Jika warga ada yang kelaparan, berikanlah, tapi jangan lupa sisakan untuk kalian. Dan ini kunci ruang bawah tanah. Warsita, ibu selalu percaya dan bangga padamu, kamu anak dan kakak yang baik. Jaga adikmu baik-baik. Utamakan keselamatan kalian. Jangan pikirkan ibu dan ayah sampai perang ini selesai. Ibu dan ayah akan baik-baik saja. Dan jangan lupa berdoa” pesan ibu dengan air mata yang sudah menggantuk di pelupuk matanya.
Ayah lebih tegar dari pada ibu. Ia mencoba untuk kuat di depan kami, padahal ia tidak tega meninggalkan kami sendirian.
“Warsita, dengarkan ibumu tadi. Dan berlindunglah jika pesawat temput Jagakarta datang.” Sekali lagi aku hanya diam membisu. Diamku kali ini bukan tanda setuju tapi tanda kekhawatiran dan kebimbanganku. Mereka pun pergi dengan mencium keningku dan kening adikku yang tertidur. Entah apa yang harus aku jelaskan pada adikku.
***
Aku mencintai desaku. Aku dilahirkan di Desa Santosa. Desa kami adalah penghasil rempah-rempah. Perang ini terjadi bukan disebabkan oleh desa-desa di bawah kepemimpinan Jagakarta, seperti desaku. Sebelumnya negara kami adalah negara yang damai.
Keadaan berubah saat negara-negara lain mulai masuk ke negara kami. Mengeksploitasi semua kekayaan alam di desa-desa. Harga mulai naik apalagi di Jagakarta, pusat pemerintahan sekaligus ibukota Negara tercinta kami. Jagakarta mulai memanfaatkan kekuasaannya dengan membeli hasil dari desa kami dengan harga yang murah dan menindas kami dengan cara baik-baik, yang kadang tak bisa kami pikirkan.
Seluruh desa di negara ini tidak terima dengan perlakuan Jagakarta. Dan pemberontakan dimulai dimana-mana. Hal itu membuat Jagakarta membentengi wilayah mereka dan menghancurkan kami dengan perang ini. Aku tak tahu kapan ini berakhir. Tapi Jagakarta tak pernah memikirkan akan jadi apa nantinya negara ini tanpa kami dan desa-desa kami yang mengolah alam.
“Duaaaarrrrrrrrrrr” ledakan kembali diluncurkan. Aku langsung membawa adikku masuk ke dalam ruang bawah tanah bersama denganku. Karena kali ini aku tak mau meninggalkan adikku sendirian disana.
“Duaaaaaaaarrrrrrrrrr” ledakan demi ledakan diluncurkan. Membuatku pusing dan jatuh pingsan.
***
Sudah sebulan perang ini berlangsung. Dan sudah sebulan pula, kami hanya berdua. Hari ini, kepala desa mendatangi rumahku dan rumah warga lainnya untuk menjemput semua warga yang diwajibkan mengungsi.
Kami mengungsi di sebuah pabrik tua, bekas pabrik dodol. Pabrik itu masih layak untuk ditinggali. Disana kami diberi selimut dan alas tidur. Dan diberi makan 3 kali sehari. Sangat cukup untuk ukuran pengungsi perang.
 Para prajurit perang yang ada di desaku mulai berjatuhan, mulai dari yang gugur, sekarat ataupun luka-luka ringan. Aku dan adikku diminta untuk menjadi relawan perawat di rumah sakit darurat untuk korban perang di kabupaten. Itu sangat membantuku dalam melupakan kesedihan dan kekhawatiran dalam perang busuk ini.
Dengan terjaganya kami disini, aku sedikit lega memang. Karena yang terpenting adalah adikku tidak kelaparan.
Tapi semakin hari korban semakin banyak. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Dan ironisnya salah satu dari mereka semua adalah laki-laki yang kusayangi. Kebahagiaan kecilku seakan terenggut. Aku kehilangan orang-orang yang kusayang. Aku takut. Apakah aku akan seperti mereka? Ataukah aku nantinya harus melihat Gayatri berada diantara para korban?
Aku ingin menyelamatkan mereka semua dengan tanganku. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk desaku.
Pada pagi cerah di awal musim panas, pesawat tempur itu datang lagi. Kali ini lebih banyak dari biasanya. Membentuk formasi V. Dan tebakkanku tepat. Mereka meluncurkan bom dimana-mana.
Aku semakin sibuk merawat korban yang baru saja dibopong masuk kedalam gudang ini. Makin banyak tangisan serta isakan yang terdengar dari keluarga korban. Aku bersyukur keluargaku masih selamat dan ada disampingku. Paling tidak aku yakin ayah dan ibu tetap akan selamat.
Ternyata Tuhan berkehendak lain. Jantungku seakan tak berdetak lagi. Saat kudengar ledakan yang sangat dahsyat yang mampu membuat gudang kokoh ini bergetar. Aku langsung mencari keberadaan Gayatri. Dan aku tak menemukannya dimana pun. Aku langsung menanyakannya pada Pak Sulis, Ketua Pemberontakan di kabupaten kami. Sebelum Pak Sulis menjawab, ada yang memelukku. Ternyata itu Kemuning, teman sekaligus tetanggaku. Dia mengucapkan kata-kata yang tak mau kudengar.
“Sita, tadi adikmu keluar gedung ini untuk mencari kucing salah satu pasien. Dan begitu dia keluar. Ledakan dahsyat itu terjadi. Dan adikmu tak bisa diselamatkan. Yang sabar, Sita”
Kalimat yang terus menghantuiku. Pertanyaan yang dulu, kini terjawab sudah. Bukan aku yang mati, tapi Gayatri. Rasanya hidup ini hampa sekali. Aku tak bisa menerima itu. Selama seminggu kerjaanku hanya duduk termenung tanpa tahu apa yang akan kukerjakan selanjutnya.
Akhirnya satu pikiran gila muncul di benakku. Tak kusangka semua ini akan mampir di otakku. Dengan tanpa pertimbangan aku langsung menjalankan aksiku.
Aku berdiri, berjalan cepat keluar dari gedung. Mencari-cari ketua pemberontak di desa kami. Itu dia kutemukan.
“Aku ingin bergabung dengan Prajurit Pemberontak.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku kaget tapi hatiku menyerukan keyakinan.
“Kau yakin, Warsita?” tanyanya tak yakin.
Aku mengangguk yakin. Dan dia mebawaku ke gudang lain yang lebih kecil. Disana terdapat banyak pemberontak yang sedang berlatih. Aku diberi seragam hijau. Dan langsung ke arena latihan.
***
Aku berusaha mengingat peristiwa itu lagi. Rasanya seperti mengingat memori pahit yang selalu masuk dalam mimpiku. Mungkin kematiaan adikku adalah titik terang perjuanganku.
Setelah bergabung dengan Pasukan Pemberontak. Aku langsung diberi jabatan sebagai asisten komandan 1. Itu sebuah titik terang juga.
Sebulan kemudian, perang bertambah panas. Komandan 1 mati setelah bergerilya selama 2 minggu. Aku diangkat sebagai komandan 1. Kami terus bergerilya sampai ke Jagakarta. Karena yang akan kami serang adalah Pusat Kontrol dan Komando Perang di Jagakarta. Objek yang sulit dihancurkan memang. Akhirnya kami berhasil menghancurkan dan  melumpuhkan pusat pertahanan Jagakarta.
Setelah perang usai, aku bertemu dengan Ayah dan Ibuku. Sedih dan senang bercampur aduk dalam dada. Tanpa Gayatri kami tidak lengkap, tapi kami berusaha melengkapinya. Jagakarta beralih ke pemerintahan Demokrasi. Aku dan keluargaku kembali ke Desa Santosa. Walau duka masih menyelimuti, aku menguburnya dalam pekerjaanku. Sekarang aku menjadi Kepala Perawat di Rumah Sakit Pusat.

Cerpen ini dibuat saat MAKARO 2013. Jangan menjiplak cerpen ini, karena dilindungi Hak Cipta.

 


Jiwa yang Merana


Aku terhampar di sebuah padang pasir yang begitu luas
Dingin
Hampa
Ku melihat ke sekeliling
Tak ada siapapun
Tak ada yang menopangku
Aku jatuh
Dadaku sakit
seperti ada yang menikamnya dengan sebilah pedang
dehidrasi melanda kerongkonganku
tak ada air untuk membasuh keringnya luka
Aku tak mampu berdiri
Hanya tersisa jiwa yang nelangsa
Serta raga yang akan hancur
Keadaan ini memperkosaku
Membuatku telanjang dalam keputusasaan

9 Oktober 2013 
Ketika mimpi lebih baik daripada kenyataan