“
Duaaaaarrrrrrrr” ledakan kedua ini membuatku semakin masuk ke dalam lemari
pakaianku. Tak ada tempat sembunyi lagi dari monster-monster itu. Pesawat
tempur sudah ada diatas desaku sejak 5 jam lalu. Mereka menghancurkan seluruh bagian
dari desaku.
Saat itu aku baru
ingat dengan adikku yang kutinggalkan di ruang bawah tanah. Dengan langkah
sigap aku berlari ke arah dapur, membuka karpet penutup pintu ruang bawah
tanah. Kemudian kubuka kunci pintu kecil itu dan berseru memanggil adikku.
“ Gayatri!!!
Gayatri!! Kau dengar aku? “ Tak ada jawaban. Aku mulai panik. Dan aku mengumpat
karena pintu kecil itu tak mau terbuka dengan mudah.
Aku mulai
mencari Gayatri tapi tak kutemukan disudut manapun. Tapi, aku ingat bahwa
lumbung padi kecil itu sudah setengah kosong. Aku membuka lemari itu. Dan
hatiku lega melihat Gayatri ada didalamnya. Tidur lelap dengan mata sembab,
habis menangis.
“Gayatri, bangunlah. Sekarang sudah aman” ucapku
lembut sambil membelai rambutnya. Dan sekejap ia membuka matanya yang sudah
memerah.
‘Aku takut. Sangat takut”
“Aku tahu, sayang. Tapi perang ini belum usai.
Ayo kita naik ke atas dan menyeduh teh” ajakku sambil merangkulnya.
***
Dan ingatanku kembali ke seminggu yang lalu,
sebelum semua ini terjadi.
“Ibu tahu nak, ini sangat mendadak. Tapi
bagaimanapun kami adalah prajurit perang di jaman dahulu. Kami semua diharuskan
ikut perang ini demi mengembalikan kedamaian di desa kita dari penindasan
Jagakarta.” Ucapan yang membuatku terpana, dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka,
Ayah dan ibuku harus pergi jauh dari anak-anak demi secuil kedamaian yang aku
percaya, akan dirampas lagi oleh musuh kami, Jagakarta.
“Warsita, dengarkan ayah. Ini demi masa depan
kalian juga. Ibu dan ayah harus pergi nak. Ayah mohon jangan egois. Ayah Cuma
menginginkan doa dan izinmu. Tolong jaga Gayatri selama kami pergi. Kami pasti
kembali, Sita.” Tanpa panjang lebar, ayah langsung menyiapkan barang-barang
penting yang dibutuhkan untuk pergi ke alun-alun. Tempat berkumpul para
pejuang.
Ibu pun tampak lebih sibuk, menyiapkan bekal
makanan. Ayah memberikan uang 500 ribu ke tanganku, dia bilang untuk jaga-jaga.
“Di lumbung ada 3 karung nasi dan sekarung
jagung. Pergunakan sebaik-baiknya. Jika warga ada yang kelaparan, berikanlah,
tapi jangan lupa sisakan untuk kalian. Dan ini kunci ruang bawah tanah.
Warsita, ibu selalu percaya dan bangga padamu, kamu anak dan kakak yang baik.
Jaga adikmu baik-baik. Utamakan keselamatan kalian. Jangan pikirkan ibu dan
ayah sampai perang ini selesai. Ibu dan ayah akan baik-baik saja. Dan jangan
lupa berdoa” pesan ibu dengan air mata yang sudah menggantuk di pelupuk
matanya.
Ayah lebih tegar dari pada ibu. Ia mencoba untuk
kuat di depan kami, padahal ia tidak tega meninggalkan kami sendirian.
“Warsita, dengarkan ibumu tadi. Dan berlindunglah
jika pesawat temput Jagakarta datang.” Sekali lagi aku hanya diam membisu.
Diamku kali ini bukan tanda setuju tapi tanda kekhawatiran dan kebimbanganku. Mereka
pun pergi dengan mencium keningku dan kening adikku yang tertidur. Entah apa yang
harus aku jelaskan pada adikku.
***
Aku mencintai desaku. Aku dilahirkan di Desa
Santosa. Desa kami adalah penghasil rempah-rempah. Perang ini terjadi bukan
disebabkan oleh desa-desa di bawah kepemimpinan Jagakarta, seperti desaku.
Sebelumnya negara kami adalah negara yang damai.
Keadaan berubah saat negara-negara lain mulai
masuk ke negara kami. Mengeksploitasi semua kekayaan alam di desa-desa. Harga
mulai naik apalagi di Jagakarta, pusat pemerintahan sekaligus ibukota Negara
tercinta kami. Jagakarta mulai
memanfaatkan kekuasaannya dengan membeli hasil dari desa kami dengan harga yang
murah dan menindas kami dengan cara baik-baik, yang kadang tak bisa kami
pikirkan.
Seluruh desa di negara ini tidak terima dengan
perlakuan Jagakarta. Dan pemberontakan dimulai dimana-mana. Hal itu membuat
Jagakarta membentengi wilayah mereka dan menghancurkan kami dengan perang ini.
Aku tak tahu kapan ini berakhir. Tapi Jagakarta tak pernah memikirkan akan jadi apa nantinya negara ini
tanpa kami dan desa-desa kami yang mengolah alam.
“Duaaaarrrrrrrrrrr” ledakan kembali diluncurkan.
Aku langsung membawa adikku masuk ke dalam ruang bawah tanah bersama denganku.
Karena kali ini aku tak mau meninggalkan adikku sendirian disana.
“Duaaaaaaaarrrrrrrrrr” ledakan demi ledakan diluncurkan.
Membuatku pusing dan jatuh pingsan.
***
Sudah sebulan perang ini berlangsung. Dan sudah
sebulan pula, kami hanya berdua. Hari ini, kepala desa mendatangi rumahku dan
rumah warga lainnya untuk menjemput semua warga yang diwajibkan mengungsi.
Kami mengungsi di sebuah pabrik tua, bekas pabrik
dodol. Pabrik itu masih layak untuk ditinggali. Disana kami diberi selimut dan
alas tidur. Dan diberi makan 3 kali sehari. Sangat cukup untuk ukuran pengungsi
perang.
Para
prajurit perang yang ada di desaku mulai berjatuhan, mulai dari yang gugur,
sekarat ataupun luka-luka ringan. Aku dan adikku diminta untuk menjadi relawan
perawat di rumah sakit darurat untuk korban perang di kabupaten. Itu sangat
membantuku dalam melupakan kesedihan dan kekhawatiran dalam perang busuk ini.
Dengan terjaganya kami disini, aku sedikit lega
memang. Karena yang terpenting adalah adikku tidak kelaparan.
Tapi semakin hari korban semakin banyak. Mulai
dari anak kecil sampai orang dewasa. Dan ironisnya salah satu dari mereka semua
adalah laki-laki yang kusayangi. Kebahagiaan kecilku seakan terenggut. Aku
kehilangan orang-orang yang kusayang. Aku takut. Apakah aku akan seperti
mereka? Ataukah aku nantinya harus melihat Gayatri berada diantara para korban?
Aku ingin menyelamatkan
mereka semua dengan tanganku. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk desaku.
Pada pagi cerah di awal
musim panas, pesawat tempur itu datang lagi. Kali ini lebih banyak dari
biasanya. Membentuk formasi V. Dan tebakkanku tepat. Mereka meluncurkan bom
dimana-mana.
Aku semakin sibuk merawat
korban yang baru saja dibopong masuk kedalam gudang ini. Makin banyak tangisan
serta isakan yang terdengar dari keluarga korban. Aku bersyukur keluargaku
masih selamat dan ada disampingku. Paling tidak aku yakin ayah dan ibu tetap akan
selamat.
Ternyata Tuhan
berkehendak lain. Jantungku seakan tak berdetak lagi. Saat kudengar ledakan
yang sangat dahsyat yang mampu membuat gudang kokoh ini bergetar. Aku langsung
mencari keberadaan Gayatri. Dan aku tak menemukannya dimana pun. Aku langsung
menanyakannya pada Pak Sulis, Ketua Pemberontakan di kabupaten kami. Sebelum
Pak Sulis menjawab, ada yang memelukku. Ternyata itu Kemuning, teman sekaligus
tetanggaku. Dia mengucapkan kata-kata yang tak mau kudengar.
“Sita, tadi adikmu keluar
gedung ini untuk mencari kucing salah satu pasien. Dan begitu dia keluar.
Ledakan dahsyat itu terjadi. Dan adikmu tak bisa diselamatkan. Yang sabar,
Sita”
Kalimat yang terus
menghantuiku. Pertanyaan yang dulu, kini terjawab sudah. Bukan aku yang mati,
tapi Gayatri. Rasanya hidup ini hampa sekali. Aku tak bisa menerima itu. Selama
seminggu kerjaanku hanya duduk termenung tanpa tahu apa yang akan kukerjakan
selanjutnya.
Akhirnya satu pikiran
gila muncul di benakku. Tak kusangka semua ini akan mampir di otakku. Dengan
tanpa pertimbangan aku langsung menjalankan aksiku.
Aku berdiri, berjalan
cepat keluar dari gedung.
Mencari-cari ketua pemberontak di desa kami. Itu dia kutemukan.
“Aku ingin bergabung dengan Prajurit
Pemberontak.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku kaget tapi
hatiku menyerukan keyakinan.
“Kau yakin, Warsita?” tanyanya tak yakin.
Aku mengangguk yakin. Dan dia mebawaku ke gudang
lain yang lebih kecil. Disana terdapat banyak pemberontak yang sedang berlatih.
Aku diberi seragam hijau. Dan langsung ke arena latihan.
***
Aku berusaha mengingat peristiwa itu lagi.
Rasanya seperti mengingat memori pahit yang selalu masuk dalam mimpiku. Mungkin
kematiaan adikku adalah titik terang perjuanganku.
Setelah bergabung dengan Pasukan Pemberontak. Aku
langsung diberi jabatan sebagai asisten komandan 1. Itu sebuah titik terang
juga.
Sebulan kemudian, perang bertambah panas.
Komandan 1 mati setelah bergerilya selama 2 minggu. Aku diangkat sebagai
komandan 1. Kami terus bergerilya sampai ke Jagakarta. Karena yang akan kami
serang adalah Pusat Kontrol dan Komando Perang di Jagakarta. Objek yang sulit
dihancurkan memang.
Akhirnya kami berhasil menghancurkan dan melumpuhkan pusat pertahanan Jagakarta.
Setelah perang usai, aku bertemu dengan Ayah dan
Ibuku. Sedih dan senang bercampur aduk dalam dada. Tanpa Gayatri kami tidak
lengkap, tapi kami berusaha melengkapinya. Jagakarta beralih ke pemerintahan
Demokrasi. Aku dan keluargaku kembali ke Desa Santosa. Walau duka masih
menyelimuti, aku menguburnya dalam pekerjaanku. Sekarang aku menjadi Kepala
Perawat di Rumah Sakit Pusat.
Cerpen ini dibuat saat MAKARO 2013. Jangan menjiplak cerpen ini, karena dilindungi Hak Cipta.